Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mencetuskan program baru yang kontroversial: anak-anak yang terlibat kenakalan remaja seperti tawuran, merokok, bolos sekolah, hingga kecanduan gim dikirim ke barak militer untuk menjalani pelatihan kedisiplinan dan pembentukan karakter.
Program ini diberi nama “Pendidikan Karakter, Disiplin dan Bela Negara Kekhususan”, dan dilaksanakan selama 14 hari di fasilitas semi-militer bekerja sama dengan TNI dan Polri. Dedi menyebut pendekatan ini sebagai bentuk intervensi negara untuk menyelamatkan anak-anak yang “sudah tidak bisa dibina di rumah maupun sekolah”.
Isi Program:
- Bangun pagi dan salat berjamaah
- Latihan fisik dan baris-berbaris
- Pemberian materi kebangsaan dan bela negara
- Pendampingan guru untuk pelajaran umum
- Kegiatan gotong royong dan bersih-bersih
Dedi menyatakan bahwa pelatihan ini tidak mengandung kekerasan. Fokusnya adalah penataan ritme hidup anak agar kembali pada jalur yang benar.
“Ini bukan hukuman, ini penyelamatan. Karena kalau dibiarkan, mereka bisa jadi kriminal. Kalau orang tua sudah menyerah, negara harus turun tangan,” ujar Dedi.
(Sumber: BBC Indonesia)
Reaksi dan Kritik:
Program ini mendapat dukungan sebagian masyarakat dan orang tua yang merasa terbantu karena anak-anak mereka menunjukkan perubahan sikap positif setelah mengikuti pelatihan.
Namun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan sejumlah pakar hukum dan psikologi mengkritik keras kebijakan ini:
- Tidak ada dasar hukum yang jelas dalam penempatan anak ke barak militer.
- Berpotensi melanggar hak anak, terutama hak atas pendidikan dan perlindungan dari perlakuan keras atau memaksa.
- Kegiatan semacam ini seharusnya dilakukan oleh tenaga profesional seperti psikolog, bukan aparat militer.
“Penanganan anak yang bermasalah seharusnya berbasis pendekatan psikososial, bukan militeristik,” kata Dr. Wahyu Triasmara dari Universitas Airlangga.
(Sumber: UNAIR)
Pembelaan Dedi Mulyadi:
Menanggapi laporan ke Komnas HAM dan KPAI, Dedi menyatakan tidak pernah memaksa anak-anak untuk mengikuti program tersebut. Ia menyebut bahwa semua dilakukan atas persetujuan orang tua dan pemerintah desa, dan menyayangkan bahwa niat baik disalahpahami.
“Mereka datang dengan surat pernyataan dari orang tuanya. Kenapa dianggap melanggar HAM?” kata Dedi.
(Sumber: Kompas)
Analisis:
Pendekatan Dedi Mulyadi ini membuka perdebatan besar antara pendekatan “disiplin struktural” versus pendekatan psikologis-pendidikan. Di satu sisi, metode militer dapat memberikan efek cepat dalam pembentukan kebiasaan. Namun, jika tidak dilandasi regulasi yang ketat dan pengawasan, program seperti ini rentan disalahgunakan atau berdampak jangka panjang secara psikologis.
Kesimpulan:
Pendidikan karakter untuk anak-anak bermasalah adalah kebutuhan penting, tetapi metodologi dan pelaksanaannya harus berbasis HAM, psikologi anak, dan landasan hukum yang jelas. Langkah Dedi Mulyadi bisa menjadi pionir jika dikembangkan dengan pendekatan multidisipliner dan pengawasan ketat—bukan hanya militeristik, tetapi juga empatik.
Referensi Lengkap:
Detik – Jawaban Dedi atas kritik KPAI
BBC Indonesia – Dedi Mulyadi kirim anak bermasalah ke barak militer